Bangkok — Pemerintah Thailand resmi memberlakukan larangan total terhadap impor sampah plastik mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari komitmen nasional menuju ekonomi sirkular dan perlindungan lingkungan hidup. Setelah bertahun-tahun menjadi salah satu tujuan utama limbah plastik global, Thailand kini mengambil langkah tegas untuk memutus ketergantungan pada bahan baku daur ulang impor yang kerap mencemari lingkungan.
Larangan ini disahkan oleh Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Thailand dan berlaku untuk semua jenis limbah plastik, termasuk yang sebelumnya diizinkan untuk industri tertentu. Dalam pernyataan resminya, pemerintah menyebutkan bahwa larangan ini adalah bentuk tanggung jawab terhadap krisis plastik global serta upaya serius untuk mengembangkan kapasitas pengelolaan sampah domestik yang lebih berkelanjutan.
Dari Tempat Pembuangan Dunia ke Pelopor Regional
Thailand sebelumnya menerima ratusan ribu ton limbah plastik setiap tahun, terutama dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Eropa. Setelah China menutup pintu bagi impor sampah plastik pada 2018, negara-negara Asia Tenggara, termasuk Thailand, menjadi pelampiasan utama.
Namun, lonjakan impor plastik ini memicu masalah serius. Banyak kontainer yang berisi limbah ilegal atau tidak dapat didaur ulang dengan benar, mencemari tanah, air, dan udara. Pencemaran di sekitar kawasan industri daur ulang—seperti di Provinsi Chachoengsao dan Samut Prakan—memicu protes warga dan tekanan terhadap pemerintah.
Kini, dengan diberlakukannya larangan tersebut, Thailand ingin memposisikan diri sebagai pemimpin regional dalam pengelolaan limbah domestik dan keberlanjutan lingkungan. Pemerintah menargetkan untuk mengurangi total volume plastik sekali pakai dan meningkatkan angka daur ulang dalam negeri hingga 80% pada tahun 2030.
Tantangan Serius dalam Penegakan
Meski kebijakan larangan impor ini menuai pujian dari aktivis lingkungan, tantangan besar masih membayangi. Penyelundupan limbah melalui pelabuhan ilegal, manipulasi dokumen bea cukai, serta lemahnya pengawasan terhadap industri daur ulang menjadi hambatan utama.
Pihak Bea Cukai Thailand menyatakan bahwa mereka telah meningkatkan sistem pemantauan berbasis digital dan menambah jumlah inspeksi fisik di pelabuhan utama seperti Laem Chabang dan Bangkok Port. Namun, mereka mengakui bahwa kerja sama internasional sangat penting untuk mencegah pengiriman limbah ilegal dari negara asal.
“Larangan ini harus didukung dengan penegakan hukum yang tegas dan transparan, jika tidak, kita hanya akan memindahkan masalah dari jalur resmi ke jalur gelap,” kata Nattapong Srisawat, peneliti di Thailand Environment Institute.
Dampak terhadap Industri
Larangan ini juga memicu kekhawatiran di kalangan industri daur ulang yang selama ini bergantung pada pasokan bahan baku impor. Pemerintah merespons dengan janji insentif dan program transisi untuk mendorong penggunaan limbah domestik serta investasi dalam teknologi daur ulang canggih.
Sebagian pelaku industri menyambut baik arah kebijakan ini, namun meminta kejelasan regulasi teknis dan dukungan finansial untuk beradaptasi. “Kami mendukung upaya mengurangi polusi plastik, tapi perlu peta jalan yang realistis agar industri tidak mati mendadak,” ujar Chanon Rattana, pemilik pabrik pengolahan plastik di Ayutthaya.
Penutup
Larangan impor sampah plastik oleh Thailand adalah langkah besar menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan. Namun, tanpa pengawasan ketat, transparansi, dan dukungan lintas sektor, tantangan penegakan hukum dapat merusak niat baik tersebut. Dunia kini menanti apakah Thailand mampu membuktikan bahwa kebijakan ambisius dapat berjalan seiring dengan ketegasan hukum dan transisi industri yang adil.